Logo
Other Information Banner Header
Tiket Online

Komunikasi

Komunikasi Korporasi dalam Resesi

Komunikasi Korporasi dalam Resesi

by DR. Ponijan Liaw, M.Pd.
Komunikasi Korporasi dalam Resesi
Oleh: DR. Ponijan Liaw, M.Pd.
________________________________________
Ada sebuah pertanyaan menarik yang diajukan dalam sebuah konferensi perencanaan keuangan di Singapura (Financial Planning Conference, Singapore): apa yang mendorong seseorang sukses? Tentu parameter suksesnya disini berkorelasi dengan penghasilan (materi). Jawaban tertingginya adalah 4. Dan, berikut hasil surveinya. Para spesialis (dokter, dll.) menduduki peringkat terbawah dengan nilai 2,8. Disusul oleh mereka yang melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya, 3,1. Mereka yang memiliki sertifikasi khusus (pilot, dll), 3,2. Latar belakang pendidikan, 3,3. Referensi dari klien, 3,6 dan puncaknya adalah keterampilan berkomunikasi dengan nilai 3,7. Hasil survei ini menggambarkan betapa besar dan signifikannya peran keterampilan berkomunikasi itu. Hasil ini kemudian dikonfirmasi lagi oleh sebuah buku berjudul ‘Satistified Customers Will Tell 3, Unsatisfied, 3000.’ Tidak fair memang. Tapi itulah kenyataannya.

Berkaca pada peran utama dan pertama dari komunikasi itu, mari kita lihat bagaimana korporasi masa kini melakukan komunikasinya. Menurut Narga Habib, penggiat P3I - Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (2004), setiap hari kita dibombardir oleh lebih dari 7,000 spot iklan televisi, 30,000 iklan radio, 3,000 iklan cetak! Sungguh sebuah deretan angka yang sangat mengejutkan jika efek dan pengaruhnya yang menjadi ukuran. Seolah-olah segala cara pun dilakoni korporasi saat ini sepanjang masih dimungkinkan. Varian cara komunikasi korporasi pun semakin berkembang. Telemarketing adalah salah satu varian komunikasi korporasi yang belakangan menjadi trend. Mulai dari yang halus, terlatih sampai dengan yang kasar tak terkendali. Lihat saja contoh masa kini betapa kasar dan tidak terkendalinya emosi para telemarketer saat menelepon calon client-nya yang tidak dikenalnya. Mulai dari melafalkan nama calon client-nya yang tidak tepat dengan nada (tone) yang tidak benar, menjelaskan produk yang ditawarkan secara langsung tanpa menanyakan apakah orang yang ditelepon berminat dan bersedia mendengarkannya. Berbicara bak seorang konsultan di bidang yang mungkin tidak lebih baik dikuasainya dibandingkan dengan orang yang diteleponnya. Sampai dengan pemaksaan untuk mengambil produk/jasa yang ditawarkan. Pembicaraan itu tidak kuasa dikendalikan sampai sang penerima telepon mematikan alat komunikasinya itu. Dan, anehnya, mengapa para telemarketer itu tidak belajar dari sana. Mengapa tidak ada evaluasi terhadap hasil kerjanya? Mengapa pula tidak ada rapat evaluasi korporasi di bidang komunikasi perusahaan itu? Dari sinilah citra korporasi mulai digerogoti dan digembosi secara perlahan namun pasti. Inilah awal musibah korporasi terjadi. Komunikasi korporasi mengalami resesi. Penurunan moral, etika dan estetika komunikasi ini akhirnya mau tidak mau berimbas pada citra korporasi yang sulit untuk dieliminasi dari benak konsumen. Maka muncullah percakapan negatif dan destruktif antar sesama yang pernah mengalami peristiwa serupa. Stigma negatif pun tidak dapat ditolak melekat pada korporasi bersangkutan. Kalau dihubungi petugas dari asuransi A, bank B, biro jasa C, korporasi D, jangan pernah diteruskan pembicaraannya. Karena ujung-ujungnya nanti dipaksa untuk membeli produk/jasanya. Jika sudah demikian, bukanlah perusahaan akan mengorbankan waktu dan biaya yang lebih besar guna merekonstruksi dan mereposisi citra korporasinya?

Seandainya, setiap korporasi menyadari betapa pentingnya etika dan estetika berkomunikasi dengan calon konsumen atau konsumennya demi menjaga citra korporasi tentu praktik komunikasi bar bar tidak beretika akan dapat direduksi. Prinsip yang harus tetap dipegang teguh oleh setiap korporasi adalah tidak menempatkan petugas komunikasinya di baris terdepan jika belum terlatih dengan baik dan benar. Setiap petugas harus dibekali dengan pengertian, pemahaman dan kesadaran tentang betapa pentingnya menghargai, menghormati dan mengapresiasi setiap pelanggan dengan cara yang sopan dan santun, walau pun mereka tidak jadi membeli! Karena disana ada citra dan nama besar korporasi yang tengah diusung dan dipertaruhkan. Setiap kata yang diucapkan dan setiap gerak tubuh yang ditampilkan harus benar-benar disadari sepenuhnya sebagai perwakilan dari perusahaan. Ucapan dan gerakan yang melecehkan, mengintimidasi bahkan mungkin mengancam tentu akan mencoreng dan menempel erat pada papan nama korporasi secara temporer. Jika tidak segera diatasi akan berubah menjadi permanen. Hanya dengan menyadari bahwa setiap kata dan gaya yang dilakukan secara teratur, terstruktur dan terukurlah, komunikasi akan mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan. Tanpa itu, sulit rasanya citra korporasi yang positif akan bisa dipertahankan dalam durasi yang lebih panjang.

Kunci dari kesemua komunikasi korporasi yang mumpuni adalah konsisten mempraktikkan pakem dasar komunikasi, verbal dan nonverbal. Disana ada unsur kata-kata yang harus dihaluskan dan dibungkus secara sopan dan santun. Disana pula terdapat bahasa tubuh yang harus mendukung setiap ucapan yang diujarkan. Kombinasi dari kedua hal itu pasti akan berdampak positif bagi korporasi yang bersangkutan. Cara untuk menguji apakah praktik itu sudah dilakukan dengan baik dan benar oleh para petugas komunikasi ini, beretika atau berestetika, gampang saja. Cobalah berikan nomor telepon Anda, tentu tanpa diketahui bahwa itu nomor Anda. Hal ini bisa dilakukan jika Anda adalah orang yang bertanggung jawab atas departemen ini. Mintalah petugas call center, telemarketer atau divisi terkait lainnya menghubungi nomor tersebut dan rasakan sensasinya. Setelah itu, keputusan bisa Anda ambil dengan bulat, mempertahankan petugas tersebut demi reputasi korporasi atau menendangnya ke ruang isolasi untuk diperbaiki etika dan gaya komunikasinya.

Komunikator No. 1 Indonesia
www.ponijanliaw.com, @PonijanLiaw & @KomunikatorNo_1
Untuk pelatihan/komunikasi: pl@ponijanliaw.com