Logo
Other Information Banner Header
Tiket Online

Komunikasi

DON

DON'T WORRY, NO HAPPY

by
Menjadi konsumen sekarang ini memang tidak terlalu menggembirakan. Kalau dulu ada istilah pembeli adalah raja, sekarang seolah istilah itu menjadi pembeli adalah 'budak' yang harus mengemis-ngemis pelayanan dan informasi yang memang menjadi haknya. Semuanya serba terbalik. Lembaga konsumen juga terlihat kewalahan menghadapi keluhan para pelanggan yang dari hari ke hari mengalami peningkatan jumlah pengeluh dan masalahnya. Kualitas complaint pun semakin meningkat seiring dengan varian produk yang juga semakin banyak. Harus ada lembaga khusus yang mengawasi soal pelayanan konsumen ini agar korporasi tidak seenaknya mengabaikan atau melantarkan tuntutan konsumennya ini. Termasuk juga menertibkan tagline, slogan, moto atau apapun itu namanya dari perusahaan yang 'menipu' calon pembelinya padahal kenyataannya payah dan meyesatkan.

Lembaga khusus keluhan ini harus menyediakan kontak complaint sebagai ukuran sejauh mana slogan dan sejenisnya dijalankan. Jika tidak sesuai, tegur dan perkarakan. Sungguh diperlukan tenaga pengawas yang bisa berperilaku setengah atau full dewa yang tidak mengharapkan imbalan karena sudah tercukupi kebutuhan lahir dan batinnya. jadi, tidak boleh sampai ada istilah seperti sebuah iklan kreatif yang jinnya siap membantu memberantas korupsi dengan pertanyaan 'wani piro?'

Tagline sejenisnya memang dibuat untuk menarik minat calon konsumen membeli sebuah produk. Lihat saja beberapa tagline yang sungguh menggiurkan ini: don't worry, be happy, always listening, always listening, always understanding, mengatasi masalah tanpa masalah, anda telepon kami antar, pelayanan 24 jam non-stop, telepon putus kami ganti, dan seterusnya. masih banyak lagi. Jika berjalan sesuai 'janji' mungkin tidak akan ada keluhan yang bejibun di kolom surat pembacaberbagai media cetak juga elektronik, belakangan termasuk di media sosial termasuk twitter dan facebook. Pelanggan tertarik dan meminta perhatian. Suara itu terkadang tidak jelas didengar atau tidak. Jika didengar pun belum tentu diberi atensi apalagi solusi.

Maritz Research melakukan survei secara online terhadap 1.298 konsumen di Amerika yang aktif di twitter. Mereka kerap membahas dan mengeluh soa produk, brand, atau korporasi tertentu. Usia para konsumen yang disurvei ini minimal 18 tahun. Dan, hasilnya mencenangkan. Harapan mereka bahwa keluhan di twitter itu mendapatkan tanggapan, berakhir sia-sia. Ini hasil surveinya. Setengah dari responden yang mengirimkan keluhan mengharapkan mendapatkan tanggapan atau notifikasi apapun dari perusahaan yang mereka tuju. Pertanyaanny kemudian, lalu, untuk apa korporasi itu mengkampanyekan pelayanan mereka di twitter dan akhirnya banyak yang harus menerima kenyataan kecewa? Sayang sekali biaya dan energi dihabikan untuk mengajak masyarakat dengan taglin mentereng, namun pelayanan mencoreng citra korporasi.