Logo
Other Information Banner Header
Tiket Online

Kewirausahaan

Kebangkitan Itu Ketika Kita Menyerah..Kepada Tuhan

Kebangkitan Itu Ketika Kita Menyerah..Kepada Tuhan

by Bing Hartojo Tugirso
Bing Hartojo Tugiarso
Owner of PT Anugerah Dwi Abadi
Produsen Alat Tulis Ballpen

Perjuangan Dari Madura ke Jakarta
Saya anak pertama dari 11 bersaudara, saya lahir di Kota Bangkalan Madura. Ayah saya jadi guru dan Ibu saya berjualan seragam sekolah. Sejak Sekolah Dasar sampai SMA saya tinggal di Madura lalu saya kuliah di Jakarta. Saya kuliah di APK Kanisius Menteng Jurusan Ekonomi mengambil yang sore hari karena sambil bekerja menjadi salesman produk ballpen. Tiga bulan pertama menjadi sales saya banyak tersasar, saya belum punya langganan sehingga harus mencari langganan yang baru. Pada awalnya saya di-training oleh senior tapi cuma satu hari, setelah itu di lepas begitu saja. Tiga bulan pertama saya tidak mendapat apa-apa, karena salesman kan mengandalkan uang komisi, sementara pada waktu itu saya belum bisa mamengandalkan
komisi saya.
Pada saat masa sulit itu saya sempat menyiasati agar tetap bisa makan, saya hanya makan roti. Saya atur uang saya yang sedikit agar saya bisa makan jadi saya biasanya beli roti dari pasar yang harganya murah tapi ukurannya besar.
Saya berprinsip saya tidak akan pulang ke Madura kalau saya belum sukses, saya sama sekali belum memahami dunia salesman, jadi jalan satu-satunya untuk belajar adalah saya patuh saja sama atasan saya, kalau saya tidak mengerti saya tanyakan ke bos saya, kalau ada masalah di lapangan saya laporkan ke atasan saya, dan atasan saya membimbing saya dalam teknis sales, lama-lama saya semakin memahami dunia sales.
Tapi itu tidak lama, karena kemudian atasan saya tersebut berpindah kerja. Setelah atasan saya pindah, praktis saya berhubungan dengan bos paling atas yang berasal dari Belanda, dengan bahasa Inggris saya yang pas-pas’an awalnya kami kesulitan dalam komunikasi, tapi lama-lama bisa. Apalagi waktu saya jadi salesman dan bos saya menyuruh saya berkeliling ke seluruh Indonesia sebagai sales. Saya bekerja di Hagemian (perusahaan ballpen) selama lima tahun. Setelah jadi salesman saya naik jadi supervisor selama enam bulan, kemudian naik menjadi asisten manajer. Saya selalu perhatikan bagaimana manajer saya mengelola perusahaan, bagaimana dia memerintah bawahan, dan bagimana melakukan pekerjaan lainnya sehingga saya mampu meneruskan pekerjaan bos saya. Saya juga minta untuk belajar lagi, terutama bahasa.
Setelah saya bekerja di bidang ballpen kurang lebih delapan tahun, lalu saya mencoba bekerja sebagai karyawan di satu perusahaan lain, sebagai product mamengandalkan nager untuk produk pasta gigi tapi hanya bertahan sampai satu tahun. Setelah satu tahun bekerja, ada lowongan menjadi marketing manager di satu perusahaan ballpen, padahal usia saya waktu itu belum memenuhi syarat, karena minimal harus berusia 35 tahun, sementara saya baru 27 tahun saat itu. Ya sudah, saya coba saja mengajukan lamaran, satu perusahaan besar, mungkin memang bidang saya di bidang alat tulis. Akhirnya saya diterima.
Meskipun perusahaan yang pertama dan ketiga tempat saya bekerja sama-sama memproduksi ballpen. Namun, lain lubuk lain ikannya, beda perusahaan pasti beda policy atau kebijakan dan ini memperkaya pengalaman saya. Begitu pula jenjang karir saya pun berbeda sehingga peran yang saya jalankan pun berbeda. Paling tidak mengenai strategi kami biasanya berdiskusi tentang kebijakan-kebijakan perusahaan dengan atasan apalagi saya cukup memiliki pengalaman dalam membangun usaha ballpen.
Di perusahaan yang terakhir saya sampai 10 tahun bekerja dengan posisi terakhir sebagai marketing director, mungkin karena saya merasa nyaman bekerja, sudah merasa cocok dengan perusahaan tersebut. Setelah merasa cukup menimba pengalaman, saya memutuskan untuk resign dan mendirikan usaha sendiri.
Built My business, Become
a Business Owner
Mengambil keputusan untuk membuka usaha, tidak ada alasan yang menjadi latar belakang keputusan tersebut, memang saya nekad saja. Saya berfikir saya sudah bekerja pada orang lain selama 19 tahun, jadi saya merasa cukup memiliki pengalaman untuk membuka sendiri usaha bidang alat tulis ini. Saya ini berlaga pinter, meskipun akhirnya setelah menjalani ini ternyata saya merasa bukan pinter tapi sok pinter. Meskipun saya memulai usaha ini dengan nekad, namun bukannya tanpa perencanaan sama sekali. Ketika akan resign dari posisi direktur dan megambil keputusan untuk memiliki usaha sendiri, semuanya saya rencanakan dengan baik. Tapi ternyata semua itu tidak berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Walau begitu saya jalankan saja terus, meskipun tidak berdasarkan planning itu. Misalnya saja, saya punya rencana meminjam uang dari bank melalui bantuan teman saya, tapi waktu itu krisis moneter melanda tahun 1998, sehingga bank tidak bisa meminjamkan uang ke masyarakat, jadi rencana itu pun gagal. Tapi saya bertekad jalan saja. Yang membuat saya berfikir harus maju, adalah fikiran positif saya saja, bahwa jalankan saja pasti akan berhasil, modal keyakinan saja. Tuhan sudah memberikan saya akal ya saya harus berfikir bagaimana usaha ini tetap berjalan. Semangat muda ini akhirnya mengantarkan saya sampai bisa memiliki pabrik, dan produknya bisa diterima oleh konsumen. Karena planning-nya berantakan, saya hanya mampu sewa tempat yang kecil, saya punya kurang dari 10 orang salesman, di situ saya juga turut menjual produk saya sendiri. Saya benar-benar memulai dari nol.
Saya membangun usaha ini bekerjasama dengan kawan saya. Kawan saya fokus di bidang produksi sementara saya di pemasaran. Mulai dengan dagang atau jual beli dulu, kami impor dari China lalu kami jual. Tapi dari situ kami lihat ada banyak persoalan, antara biaya yang kita keluarkan dengan keuntungan tidak sesuai. Produk impor itu kadang harganya terus turun, sementara sistem pembayarannya konsinyasi. Seringkali produk kita disamakan dengan produk lain yang harganya lebih murah, padahal itu beda merk dan beda kualitas, tapi karena tampilan produknya sama jadi seolah-olah sama. Ini yang menjadi alasan saya akhirnya memproduksi alat tulis sendiri sehingga saya bisa melakukan kontrol terhadap kualitas dan sebagainya dari produk yang saya jual. Pabrik saya dirikan dari tahun 2001, tidak lama dari awal kita merintis kira-kira tiga tahun.
Ujian itu Datang
Pabrik saya memproduksi 10 jenis ballpen untuk memenuhi pasar. Awalnya saya mempekerjakan sebanyak 120 orang karyawan, sebenarnya jumlah keseluruhan lebih banyak karena untuk assembling produk, untuk merakit di pabrik saya gandeng para ibu-ibu rumah tangga, tapi sekarang saya memiliki sekitar 80 orang karyawan, karena saya pernah mendapatkan masalah pada kualitas pada tahun 2006-2008, problem tersebut terjadi berturut-turut. Problem tersebut ada pada mata pena yang kami impor dari Swiss dan tinta dari Jerman. Tapi ternyata mata pena itu bisa rusak, saya pikir semua komoditas dari Eropa sudah pasti bagus kualitasnya, tapi mengapa banyak yang rusak. Tahun 2006-2008 saya banyak mendapatkan retur, ballpen banyak yang rusak belum lagi complain dari para pelanggan. Saya sampai bingung, banyak return yang masuk, saya coba teliti ternyata yang salah ada pada mata pena, akhirnya saya kontak ke Swiss ternyata pabriknya sudah tutup, lalu saya coba cara lain yakni impor dari Jerman, tapi ternyata kami mengalami hal yang sama, ballpen kami macet dan tidak bisa digunakan, lalu saya coba lagi impor dari Amerika ternyata hasilnya sama cepat rusak juga, wah saya sampai tiga kali jatuh, hampir saja perusahaan bangkrut, semua orang memprediksi perusahaan ini akan bangkrut, saya rugi milyaran rupiah dan tidak tahu harus berbuat apa.
Bangkit dari Keterpurukan
Ternyata apa yang saya pikirkan selama ini salah semua, itulah mengapa saya katakan bahwa saya ini ternyata Cuma sok pintar. Saya pikir ilmu dan pengalaman adalah segalanya. Ketika keadaan sedang terpuruk, saya bingung mau mengerjakan apa, strategi apapun yang saya terapkan gagal semua, saya sampai bingung harus bagaimana lagi. Seluas apapun pengalaman dan dengan strategi bagaimanapun tetap saja gagal. Ternyata saya menemukan jawaban itu dari Tuhan.
Saya dinasehati oleh pembimbing rohani saya yang membuat saya akhirnya tersadar, menurutnya kesalahan ada pada saya, saya sempat menolak karena kesalahan bukan ada pada saya tapi ada pada mata pena dan tinta. Beliau bilang kepada saya lagi “permasalahan kamu adalah kamu membangun bisnis dengan berhutang, kamu bayar hutang-hutang kamu dulu”, saya menolak lagi, karena menurut saya biar uang yang ada saya putar dulu baru dari situ saya akan membayar hutang, tapi kata pembimbing rohani saya: “ngga, kamu harus bayar hutang-hutang kamu dulu, dan jangan mengandalkan yang lain selain mengandalkan Tuhan”. Dengan berat hati saya lakukan apa yang pembimbing rohani saya sarankan. Dengan berat hati saya membayar hutang-hutang saya dulu. Ini tidak mudah, mendapat jawaban dari Tuhan dan menjalankanya.
Tapi saya menurut sama Tuhan dan ternyata hutang-hutang saya juga dibereskan sama Tuhan. Dan di luar kemampuan manusia, semua persoalan itu bisa teratasi, saya kan biasa menghitung apapun dalam proses suatu usaha, tapi itu di luar penghitungan manusia. Semua teratasi. Kalau Yang Maha Kuasa belum bilang perusahaan ini tutup ya tidak akan tutup. Saya melakukan apa yang saya bisa, yang sulit saya serahkan pada Tuhan saja. Orang-orang yang mengerti akan marketing dan dunia usaha semua bilang ini perusahaan tinggal tunggu matinya saja. Tapi tidak, ketika kita mengandalkan Tuhan semua pasti teratasi, saya juga tidak mengerti, yang rugi bisa ketutup, hutang-hutang lunas, buka kantor di Surabaya, bisa beli rumah, benar-benar di luar kemampuan kita, itulah kekuasaan Tuhan. Itulah mengapa saya bilang bahwa saya ini sok pintar, ada masalah begitu saja saya tidak bisa mengatasi. Artinya sebesar apa pun ilmu dan pengalaman saya tidak ada artinya apa-apa kalau kita tidak mengandalkan Tuhan, ilmu dan kekuasaan Tuhan jauh lebih luas. Sekarang saya mengalir saja, Tuhan mau memberi rezeki kepada saya berapa. Yang penting saya tetap berusaha, biar Tuhan yang memberi saya seberapa. Pesan pentingnya adalah kita ini Cuma hamba “Menyerahlah pada Tuhan, jalankan petunjuk-NYA, jangan mengandalkan yang lain, dan bergantunglah hanya kepada-NYA”.
Harapan ke Depan
Setiap orang pasti memiliki target yang menjadi tujuan, termasuk saya. Tapi soal hasilnya saya serahkan pada Tuhan. Targetnya saya ingin produk saya jadi yang terbesar di dunia ballpoint, setiap orang kan pasti menggunakan ballpen. Tapi target itu tidak ngoyo seperti dulu.
Tips Sukses ala Bing Hartojo Tugirso; Yang pertama dan satu-satunya kita harus belajar yang sungguh-sungguh, bekerja sungguh-sungguh dan berdoa yang sungguh-sungguh.
Demikianlah excellent story dari Bapak Bing Hartojo Tugiarso, semoga menginspirasi dan memotivasi kita semua.