Logo
Other Information Banner Header
Tiket Online

Kepemimpinan

Succes story  Maya Angelou

Succes story Maya Angelou

by Maya Angelou
Maya Angelou

Masa kecil yang dipenuhi dengan kekerasan, prasangka, dan membisukan diri, penulis ini menemukan suaranya.

Ketika seorang gadis kecil berkulit hitam yang ketakutan dan saudara laki-lakinya turun dari kereta api pada masa Depresi di Stamps, Arkansas, mereka sama sekali tidak menyadari kalau mereka memasuki satu-satunya tempat berlindung selama masa muda mereka. Maya Angelou, dilahirkan dengan nama Marguerite Johnson, dikirim oleh orangtuanya setelah bercerai untuk tinggal bersama nenek dari pihak ayahnya. Neneknya, Momma, adalah satu-satunya pemilik toko Afrika-Amerika dalam kota di daerah selatan yang tersegregasi, dan saat keluarga tersebut jatuh miskin, sebenarnya mereka lebih kaya dibandingkan beberapa orang kulit putih di daerah tersebut.
Momma adalah figur pengusaha yang tegas tetapi penuh pengabdian yang mendorong anak-anak itu agar menonjol di sekolah dan menuntut lebih pada mereka dibandingkan teman-teman sebaya mereka. Terlihat aneh di antara keluarga yang “berpenampilan menarik meskipun menderita” dan merasa kehilangan arah setelah orangrtua menginggalkannya, Maya menenggelamkan diri dalam pelampung kehidupan yang utama dalam lautan penghinaan yang diterimanya sebagai gadis berkulit hitam di daerah tersegregasi di Selatan. Seperti kebanyakan gadis seusianya, ia ingin seperti gadis berkulit putih dan memimpikan hari ketika ia bangun dan menemukan dirinya tampil anggun dengan rambut pirang dan mata biru. Selama tugasnya yang singkat sebagai pembantu, namanya diganti menjadi “Mary” oleh orang yang mempekerjakannya yang merasa Marguerite “terlalu panjang”. Seorang dokter gigi menolak memberikan penanganan gigi darurat padanya dan berkata pada neneknya, “Saya lebih suka memasukkan tanganku kedalam mulut anjing daripada ke dalam mulut orang Negro.”
Meskipun penghinaan ini adalah hal biasa pada waktu itu, Maya tetap tidak dapat menerimanya dan merasa sakit hati karena sikap yang kurang ajar itu. “Jika tumbuh dewasa adalah penderitaan bagi gadis Berkulit Hitam dari Selatan,” tulisnya, “Yang menyadari bahwa tempatnya adalah karat di ujung pisau cukur yang mengancam tenggorokan. Itu adalah hinaan yang tidak sepantasnya.”
Ditenga-tengah penghinaan itu, Maya memenangkan beberapa kesuksesaan kecil. Ia senang membaca dan jatuh cinta pada sastrawan klasik seperti Shakespeare dan Poe, ketika menemukan penyair Afrika-Amerika seperti Paul Laurence Dunbar. Maya menempatakan dirinya sebagai murid yang baik, dan posisi neneknya di kota memberinya kehormatan di dalam komunitas. Sementara ia menghabiskan waktu yang menyenangkan bersama neneknya, ia masih bertanya-tanya mengapa orangtuanya tidak memberikannya tempat. Maka ketika kesempatan datang bagi Maya dan saudaranya, Bailey, untuk bergabung dengan ibu mereka di St. Louis, mereka pun mengambilnya.
Di St. Louis, Maya dan Bailey mengalami “kota besar” dengan segala hal yang menarik: makanan jenis baru, pemandangan dan suara, keragaaman etnis, dan kesenangan karena bertemu dengan keluarga besar ibu mereka. Tetapi disinilah Maya mengalami trauma ketika masih berusia 8 tahun dan masih banyak lagi: kekasih ibunya memperkosanya.
Ia dipaksa untuk merahasiakan tindakan kriminal tersebut, tetapi ketika saudara laki-lakinya menebak, ia menyebutkan nama pelakunya. Orang itu ditangkap dan dibawa ke pengadilan, dan pengakuan Maya membuatnya masuk penjara. Keluarga ibu Maya membuatnya masuk penjara. Keluarga ibu Maya memiliki koneksi politik dan kemungkinan besar merekalah yang mengatur agar orang itu dibebaskan hari itu juga dan dipukul sampai mati di jalan.
Ketika berita tentang kematian pemerkosanya sampai pada Maya, ia terkejut dan terdiam, “Jika aku bicara pada orang lain,” ia kahwatir, “orang itu mungkin akan mati juga. Napasku, kata-kataku, dapat meracuni orang, dan meraka akan sekarat dan mati.” Hanya ada satu solusi, “Aku harus berhenti bicara.”
Selama lima tahun berikutnya, Maya tidak bicara, keluarga ibunya menuduh sikapnya itu sebagai keangkuhan dan mengirimkan mereka kembali untuk tinggal bersama nenek mereka di Arkansas. Ketika asuhan neneknya dan kesunyian kota kelihatan seperti tempat menenangkan diri, Maya merasa sesak oleh rasa bersalah. Pikiran cerdas yang pernah dimilikinya makin berkurang ketika ia mulai melupakan nama-nama dan wajah-wajah yang dikenalnya. Suara kedengaran tidak jelas. Warna tampak pudar. Maya merasa perlahan-lahan telah mejadi gila.
Pada suatu hari di antara hari-hari yang diam dan sunyi ditoko, penyelamat Maya datang. Bu Flower adalah guru sekolah yang telah mendengar kebisuan Maya yang disengaja. Ia mengundang gadis itu untuk datang ke rumahnya, tempat ia mulai mengambil buku dari rak dan mulai membacanya keras-keras. Buku tersebut tidak asing bagi Maya-ia telah membaca sebagian besar buku-buku itu sebelumnya. Tetapi ia tidak pernah mendengar keindahan kata-kata yang diucapkan. “Itu adalah saat terbaik, itu adalah saat terburuk,” seperti yang di dibacakan oleh Bu Flower bersikeras agar Maya duduk dengan memesona. Bu Flower bersikeras agar Maya membawa pulang buku dan membacanya keras-keras-dan setiap minggu ia kembali dengan sebuah puisi yang telah dihafal untuk dideklamasikan.
Maya senang diperhatikan oleh Bu Flower. Itu adalah pertama kalinya ia merasa benar-benar “disukai”, dan betapa besar pengaruhnya. Saya dihormati bukan karena cucu Bu Henderson, atau saudara Bailey, tetapi cukup sebagai Marguerite Johnson. Ia kembali setiap minggu dengan puisi dan potongan prosa. Ia membacanya keras-keras dan menikmati kata-kata yang keluar dari bibirnya, yang bergema di udara. Buku selalu menjadi tempat pelariannya-jalan yang terpercaya dan pribadi untuk keluar dari kepahitan dan penderitaan hidup. Sekarang buku telah menjadi penerangnya, menuntunnya untuk masuk kembali ke dalam kehidupan, membantunya menemukan kebahagiaan di tengah-tengah kepahitan.
Buku selalu menjadi batu ujian bagi Maya Angelou. Sebagai penulis, ia memaparkan segala pengalaman yang suram, menyenangkan, dan menantang dalam hidupnya di halaman puisi dan catatan hariannya. Dengan kata-katanya sendiri, “Saya bisa diubah oleh apa yang terjadi pada hari saya. Tepi saya tidak mau dihancurkan oleh hal itu.” Pengalaman Maya tidak membuatnya hancur: Justru menjadi kesempatan untuk menemukan kembali dirinya dan menciptakan seninya. Petualangan hidupnya-kehamilan ketika remaja; bekerja sebagai penari, aktris, dan penghibur; kegagalan perkawinan berkali-kali; kepindahan ke Ghana; ikut serta dalam demonstrasi yang memperjuangkan hak-hak sipil bersama Dr. Martin Luther King, Jr-semua menjadi topik dari buku-buku biografinya yang laris terjual.
Saat ini, Maya Angelou dikenal sebagai penyair, ahli sejarah, pengarang, aktris, penulis naskah, aktivis hak-hak sipil, produser, dan sutradara. Ia mengajar di University of Ghana dan memegang jabatan di Wake Forest University. Ia dinominasikan dalam Pulitzer Prize, Piala Tony, dan Emmy Award. Ia telah menulis sepuluh buku laris dan menulis serta membacakan sebuah puisi atas permintaan Bill Clinton pada hari pelantikan kepresidenan tahun 1993. Tulisannya telah menjadi simbol dari kegigihannya dalam menemukan kembali hidupnya-dengan semua kepahitan dan kemenangannya-sebagai seni dan memanfatkaan seninya untuk merayakan kehidupan itu sendiri.**

(Disadur dari buku 30 Success Stories, karya Laura Fitzgerald)