Logo
Other Information Banner Header
Tiket Online

Kepemimpinan

Becoming A GREAT Coach with EQ!

Becoming A GREAT Coach with EQ!

by
Now...It's the era of COACH!Boleh dikatakan, jaman sekarang, adalah masa dimana orang bukan lagi hanya sekedar diberikan sebuah training atau diajari, tetapi juga dibimbing. Itulah sebabnya mengapa saat ini, bermunculan kebutuhan akan para “Coach” di perusahaan. Mulai dari Business Coach, hingga Personal Coach. Semuanya menjadi semakin penting di era yang menuntut percepatan, serta ketrampilan yang semakin tinggi. Karena itulah, profesi coach yang sebelunya hanya dikenal di dunia olah raga, kini juga muncul di lingkungan bisnis. Bahkan, sudah menjadi sangat umum, dibalik para pebisnis dan CEO yang sukses, ada seorang coach yang mendampingi mereka. Nah, selain itu, muncul pula kebutuhan pentingnya para trainer dan pimpinan di perusahaan mengambil peran menjadi coach pula, termasuk yang akan diperkenalkan disini adalah menjadi seorang Coach yang GREAT, dengan pendekatan EQ (Kecerdasan Emosional).



Bicara soal Coach, ada beberapa data yang menarik. Menurut majalah Economist (Dec, 2002), executive coaching mulai bertumbuh bertumbuh sekitar 2% per tahun, bahkan sekarang angkanya semakin tinggi. Dan menurut Harvard Business School Journal (Jul,2002), ada sekitar 10,000 yang bekerja menjadi business coach di tahun 2002 dan bertumbuh dari sekitar 2,000 di tahun 1996 dan akan melebihi 100,000 orang di tahun 2012. Sebuah angka yang menarik! Bahkan, juga dikatakan bahwa professional coach adalah salah satu pekerjaan dengan bayaran yang cukup tinggi yakni berkisar antara Rp 1,5juta hingga Rp 150 juta. Bahkan konon, coach yang dilakukan oleh motivator dunia Anthony Robbins bisa menembus ke angka 1 milyar (wow!). Dan, menurut majalah Start Up Magazine, menjadi coach kini merupakan salah satu pekerjaan yang pertumbuhannya paling tinggi nomer dua setelah IT untuk profesi yang dilakukan di rumah (home based profession).



Lantas, Adakah Manfaatnya Coach ini?

Tentu saja! Kalau tidak, mana mungkin profesi dan kebutuhan akan seorang coach menajdi semakin meningkat. Bahkan, baru-baru ini riset terhadap 100 coach profesional menunjukkan bahwa mereka meningkatkan 570% return on investment, meningkatkan produktivitas 53%, quality 48%, work relationships (hubungan di tempat kerja) 77%, serta job satisfaction meningkat hingga 61%.



Bahkan, di tahun 2001, the Denver Post melaporkan Manchester Survey terhadap 140 perusahaan yang mengatakan 9 dari 10 eksekutif percaya bahwa coaching itu impas dengan uang dan waktu yang diluangkan. Bahkan ketika dikuantifikasi adalah uang baliknya adalah $5 dari setiap $1 yang dikeluarkan.



Dan tatkala ditanya apa alasan sebenarnya orang membutuhkan coach, John Kotter, Professor Leadership Harvard Business School menyebutkan 4 alasan vital yakni: Pertama, ingin lebih cepat sukses; Kedua, untuk mengatasi problem mereka; Ketiga, sebagai teman untuk memberikan saran professional, serta keempat, jadi pendamping agar bisa menggunakan ilmu dan teknik terbaik agar bisa menjadi lebih baik dari yang lainnya.



Mental Menjadi Seorang Coach

Tentu saja untuk menjadi coach tidaklah sembarangan orang mampu melakukannya. Eddie Robinson, salah seorang coach olah raga yang bekerja selama 57 sebagai coach bahkan tatkala usianya mencapai 60 pun masih berada di lapangan serta yang paling banyak menang timnya, mengatakan hal yang menarik,“Coaching is a profession of love. You can't coach people unless you love them”.



Dan ketika seseorang menjadi baik business coach maupun personal coach, ada banyak persamaannya dengan kondisi di lapangan. Intinya, mind set seorang coach ini mirip yakni sama-sama ‘doing our best for people we coach to reach peak performance in both their professional and personal lives’ (melakukan yang terbaik untuk membantu orang yang dicoach untuk mencapai kinerja puncaknya, baik secara professional maupun dari sisi personalnya).



Intinya, bagi saya, seorang coach biasanya menjalankan 3 peran besar yang dapat disingkat menjadi SIP. Apakah itu SIP? Pertama, sadarkan raksasa tertidur dalam diri klien-klien kita atauun orang yang kita coach. Kedua,inspirasikan para klien yang dibimbing sehingga bisa mengatasi berbagai persaoalan yang terjadi secara teknis maupun karakternya. Dan ketiga,persiapkan diri para klien yang dicoach, untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mewujudkan apa yang menjadi impian mereka di masa depan. Itulah peranan penting seorang coach, yakni SIP ini!



Menjadi GREAT EQ Coach!

Biacara soal coach ini, tiba-tiba, saya pun teringat dengan film “Coach Carter” yang diperankan oleh Samuel Jackson. Film ini pada dasarnya berkisah tentang sebuah tim basket yang selalu kalah dan underdog. Ia punya tantangan untuk meningkatkan hasil tim ini. Namun, pendekatannya sungguh amat berbeda. Intinya, Samuel Jackson memerankan seorang soach yang menuntut pemainnya untuk pinter di sekolah pula. Sampai-sampai ia rela menutup lapangan, sebelum pemainnya mencapai nilai sekolah standar yang diharapkan. Di akhir kisah film ini memang kemudian ditunjukkan bagaimana secara akademik para atlit basket ini bagus hasilnya, namun secara skor permainan juga meningkat. Itulah contoh bagus soal menjadi GREAT EQ Coach ini!



Lantas, bagaimanakah rumus menjadi GREAT EQ Coach ini? Dalam salah satu modul training sertifikasi EQ Six Seconds yang setiap tahunnya kami lakukan di Six Seconds Indonesia, inilah peran seorang GREAT coach yang kami perkenalkan. GREAT ini sendiri merupakan suatu singkatan yakni: Good knowledge, Relevant theory and practice, Empathy, Accredited and A Living Example, Time availability to share. Intinya, seorang GREATcoach itu memiliki sikap penting yakni: Pertama, good knowledge, artinya ia punya pengetahuan yang luas dan mendalam soal bidang yang dicoach olehnya. Syukur-syukur, ia sendiri adalah praktisinya. Kedua, soal relevant theory and practice, yakni bisa mengkaitkan masalah yang dihadapi dengan pengetahuan dan kerangka konsepnya. Ketiga soal empathy yakni ketika seorang coach bisa berempati dan sabar. Lihatlah seperti misalnya, seorang coach Carter yang berempati dengan orang tua para atlitnya yang khawatir dengan kondisi akadamik anak-anaknya yang dilatih. Sebenarnya, sebagai coach ia bisa saja memaksakan anaknya hanya berlatih basket saja, namun disini ia juga peduli dengan preastasi akademik anak latihnya. Berikutnya adalah Accredited and A Living Example, artinya punya lisensi untuk mengajar (yang berarti bahwa ia pun masih terus belajar) ataupun dia menjadi contoh yang baik. Dan akhirnya time availability to share dimana ia mau meluangkan waktunya dan bisa dihubungi tatkala dibutuhkan.